PENJELASAN TENTANG CARA PELAKSANAAN PUASA ASYURO
Oleh : Ust. Abdurrahman Wahid, Lc, MA
Muqoddimah
Pergantian tahun baru hijriah 1 Muharram 1443 H. adalah momentum yang tepat bagi anggota, simpatisan, dan umat Islam untuk menjadikannya sebagai titik tolak perubahan untuk bangkit dari keterpurukan yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19 melaju kembali menuju kebangkitan umat. Spirit hijrah adalah perubahan besar dalam perjalanan umat Islam. Setelah Nabi saw. dan para sahabat tiba di Madinah, babak baru kehidupan umat dan transformasi menuju masyarakat madani yang berkemajuan dan berkeadaban telah dimulai. Semua itu diawali dengan empat agenda besar, yaitu: membangun masjid, mempersaudarakan Anshar dan Muhajirin, mengukuhkan Piagam Madinah, dan membangun pasar. Keempat agenda itu harus diemplementasikan dalam kehidupan sekarang demi lajunya kebangkitan umat.
Diantara hal yang bisa dilakukan adalah menguatkan Hubungan dengan Allah Swt, mengeratkan persaudaraan (Ukhuwwah), mengukuhkan pilar kebangsaan dan membangun ekonomi umat. Diantara cara menguatkan hubungan dengan Allah dengan cara melaksanakan puasa asyuro.
Keutamaan Puasa Asyuro
1. Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: “Rasulullah saw bersabda:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah (puasa) di bulan Allah (yaitu) Muharram. Sedangkan shalat yang paling utama setelah (shalat) fardhu adalah shalat malam.” (HR muslim)
2. Abu Qatadah ra meriwayatkan, Rasulullah saw bersabda:
وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
“Adapun puasa hari ‘Asyura, aku berharap kepada Alllah menjadi penghapus dosa selama setahun sebelumnya.”. (HR Muslim, Abu daud, Tirmidzi dan Ibnu majah)
3. Ibnu Abbas ra berkata: “Saya tidak pernah melihat Rasulullah saw mengupayakan untuk puasa pada suatu hari melebihi yang lainnya kecuali pada hari ini, yaitu hari ‘Asyuro, dan bulan ini yaitu Bulan Ramadhan.” (HR Bukhori dan Muslim)
4. Ibnu Abbas ra berkata, “Ketika Rasulullah saw tiba di Madinah, beliau menyaksikan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyuro, maka dia berkata, “(Hari) apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari istimewa, karena pada hari ini Allah selamatkan Bani Isra’il dari musuhnya, karena itu Nabi Musa berpuasa pada hari ini.” Rasulullah saw bersabda: “Saya lebih berhak mengikuti Musa daripada kalian.” Maka beliau berpuasa dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa.”. (HR Bukhori dan Muslim)
5. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, dia berkata, “Ketika Rasulullah saw berpuasa pada hari ‘Asyuro dan memerintahkan (kaum muslimin) berpuasa,mereka (para sahabat) berkata, ‘Ya Rasulullah! Ini adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nashrani,’ maka Rasulullah saw bersabda:
فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ صُمْنَا يَوْمَ التَّاسِعِ
“Jika (bertemu) tahun depan, Insya Allah, kita akan berpuasa pada hari kesembilan (bulan Muharram).” Namun ternyata tahun depannya Rasulullah J sudah meninggal dunia.” (HR Muslim, Abu daud dan Ibn Majah)
6. Imam Ahmad dalam Musnadnya dan Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya juga meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas ra, Rasulullah saw bersabda:
صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ، وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ، صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا، أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا
“Puasalah pada hari Asyuro, dan berbedalah dengan Yahudi pada masalah ini, berpuasalah kalian sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.”. (Lihat Musnad Imam Ahmad, 1/241, no. 2154. Syekh Syu’aib Al-Arna’uth berkomenter: “Sanadnya lemah”, Shahih Ibnu Khuzaimah, 3/290, no. 2095. Syekh Al-Albany berkomentar tentang riwayat hadits ini: “Sanadnya lemah, karena lemahnya hafalan Ibnu Abi Laila, sedangkan Atha serta lainnya bertentangan dengannya. Ibnu Abbas meriwayatkannya secara mauquf. Sanadnya shahih hingga At- Thahawi dan Baihaqi.” Lihat Dha’if al-Jaami’, no. 3506.)
Fase Penetapan Puasa ‘Asyuro
Dari sejumlah riwayat yang ada, para ulama menyimpulkan bahwa pada masa Rasulullah saw, ketetapan puasa ‘Asyuro memiliki beberapa fase penetapan, yaitu:
Pertama, Rasulullah saw telah melakukan puasa ‘Asyuro sejak awal sebagaimana orang orang Quraisy pada masa Jahiliah melakukannya, namun beliau tidak memerintahkan kaum muslimin berpuasa. Kedua, Ketika beliau datang ke Madinah dan mengetahui orang-orang Yahudi juga berpuasa pada hari ‘Asyuro, beliau berpuasa dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa juga. Sebagian ulama berpendapat bahwa saat itu puasa ‘Asyuro wajib hukumnya, sebagian lagi menyatakan Sunnah Mu’akkadah (Sunnah yang sangat ditekankan).
Ketiga, Setelah diturunkan kewajiban puasa Ramadhan (tahun 2H), maka setelah itu beliau tidak memerintahkannya lagi namun juga tidak melarangnya dan membiarkannya sebagai perkara Sunnah. Kebanyakan para ulama menyatakan bahwa saat itu, puasa ‘Asyuro sebagai Sunnah ghoiru mu’akkadah (sunnah yang tidak ditekankan).
Keempat, Diakhir kehidupannya, Rasulullah saw bertekad untuk tidak hanya puasa pada hari ‘Asyuro saja (tanggal 10), tetapi juga menyertakan hari lainnya (tangal 9), agar berbeda dengan ibadahnya orang Yahudi.(lihat: Latha’iful Ma’arif, Ibnu Rajab Al-Hambali, hal. 53)
Bagaimana Berpuasa ‘Asyuro?
Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah –setelah merangkum semua dalil yang ada:
وعلى هذا فصيام عاشوراء على ثلاث مراتب : أدناها أن يصام وحده ، وفوقه أن يصام التاسع معه ، وفوقه أن يصام التاسع والحادي عشر والله أعلم .
“Oleh karena itu, puasa ‘Asyura terdiri atas tiga tingkatan: 1. Paling rendah yakni berpuasa sehari saja (tanggal 10). 2. Puasa hari ke-9 dan ke-10. 3. Paling tinggi puasa hari ke-9, 10, dan ke-11. Wallahu A’lam” (lihat Fathul Bari, 6/280, Fiqhus Sunnah, 1/450)
Ibnu Qoyim dalam kitabnya, Zaadul Ma’ad 2/75-76 –Berdasarkan riwayat-riwayat yang ada menjelaskan tentang urutan puasa ‘Asyuro:
Urutan pertama, dan ini yang paling sempurna adalah puasa tiga hari yaitu puasa tanggal sepuluh dan sehari sebelum dan sesudahnya (9, 10, dan 11). Urutan kedua, adalah puasa tanggal 9 dan 10, inilah yang banyak disebutkan dalam hadits, sedangkan urutan ketiga, adalah puasa tanggal 10 saja.
Terkait dengan dalil yang memerintahkan puasa sebanyak tiga hari (9,10 dan 11) para ulama mengatakan bahwa riwayat Ibnu Abbas (lihat hadits no. 6 dalam pembahasan ini) yang sering dijadikan landasannya adalah dha’if. (Lihat Dha’if Jami’ Ash-Shagir, no. 3506). Akan tetapi pengamalannya tetap dibenarkan oleh para ulama dengan dua alasan berikut;
1. Sebagai kehati-hatian, yaitu kemungkinan penetapan awal bulannya tidak tepat, maka puasa tanggal sebelasnya akan dapat memastikan bahwa seseorang mendapatkan puasa Tasu’a (tanggal 9) dan ‘Asyuro (tanggal 10). (Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 3/112, Latha’iful Ma’arif, hal. 53)
2. Dimasukkan dalam puasa tiga hari pertengahan bulan (Ayyamul Bidh). (Makalah berjudul: Al-Ahadits al-Waridah fi Shiyami ‘Asyuro wal Marahil-llatii Marra biha, DR. Bandar bin Nafi’ al-‘Abdali.
Adapun puasa tanggal 9 dan 10, dinyatakan jelas dalam hadits yang shahih, dimana Rasulullah saw pada akhir kehidupannya sudah berencana untuk puasa pada tanggal 9. Hanya saja beliau lebih dahulu meninggal. Beliau juga memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa pada tanggal 9 (bersama tanggal 10) agar berbeda dari perbuatan orang-orang Yahudi.
Sedangkan puasa tanggal sepuluhnya saja, sebagian ulama menyatakannya makruh, meskipun pendapat ini tidak dikuatkan sebagian ulama lainnya.
Secara keseluruhan dan berdasarkan keumuman hadits-hadits yang ada, puasa ‘Asyuro adalah ibadah yang sangat dianjurkan Rasulullah saw.
Semoga Allah mudahkan untuk kita semua dalam menjalankan amalan sunnah ini.