Seorang Da’I (Guru) adalah Qudwah (Suri Tauladan)

Interaksi Al Qur’an
October 6, 2021
Interaksi Nabi dengan Sahabat
October 29, 2021

Seorang Da’I (Guru) adalah Qudwah (Suri Tauladan)


Seorang (Guru) da’i harus menampilkan citra diri yang positif dan mempesona, yang bisa dinikmati keindahannya dan dicium semerbaknya oleh umat di sekitarnya. Kita memahami, bahwa kekuatan argumen dan bagusnya retorika, tidak akan berpengaruh tanpa dibarengi figur keteladanan yang kokoh sang da’I (guru). Kenyataannya, keteladanan dan aura ruhiyah seorang da’i (guru) seringkali lebih mengena di hati orang yang berinteraksi dengannya.

1. Teladan dalam Aqidah dan Iman (Keyakinan). Kebersihan dan kekuatan iman adalah awal dari segala keshalihan. Da’I (guru) teladan harus lebih dahulu membersihkan aqidahnya dari syirik, khurafat, dan bid’ah, serta menampakkan keyakinan yang tinggi terhadap kebenaran risalah yang dibawanya. Sebab kotornya aqidah dan lemahnya keyakinan adalah awal dari segala kekalahan perjuangan.

Dalam hal aqidah, seorang da’I (guru) tidak boleh menampakkan sikap basa-basi apalagi lemah. Sikapnya tegas terhadap semua penyimpangan aqidah, baik paham-paham sesat sekte, atau syirik dan khurafat di masyarakat. Tentu ketegasan yang diekspresikan melalui ilmu, hikmah, dan kebijaksanaan. Ada contoh yang baik dalam hal ini, yaitu keteguhan aqidah Imam Ahmad bin Hambal (wafat 241 H) ketika ia dipenjara dan disiksa selama tiga masa khalifah, lantaran ia menentang dengan keras paham yang menyebutkan bahwa Al Qur’an adalah makhluk. Menurut Ahlus Sunnah, Al Qur’an adalah firman Allah bukan makhluk sebagaimana paham Mu’tazilah. Sikap tegas Imam Ahmad ini berefek luar biasa setelah ia wafat, diriwayatkan bahwa ketika ia wafat, mayatnya diantar oleh delapan ratus ribu laki-laki dan enam puluh ribu wanita, dan kurang lebih dua puluh ribu orang Nasrani, Yahudi, dan Majusi masuk Islam. (Drs. Fatchur Rahman, Ikhtshar Musthalahul Hadits,hal. 375)

Begitu pula Said bin Jubair, tokoh ulama masa tabi’i, ia rela disembelih algojo gubernur tiran Al Hajjaj bin Yusuf ats Tsaqafi. Pada saat disembelih, ia mengakhiri hayatnya dengan untaian kata yang indah: “Sedangkan aku, maka aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagiNya. Muhammad adalah hamba dan rasul Allah, ambil-lah persaksianku ini sampai engkau berjumpa denganku di hari kiamat. Allahumma ya Allah, jangan Engkau jadikan dia berkuasa kepada seseorang yang membunuhnya sesudahku.” (Wafayat Al A’yan, 2/371).

2. Teladan dalam Perilaku (Akhlak). Tahukah anda, bahwa, manusia lebih banyak mengikuti dan percaya dari apa yang kita lakukan dibanding mengikuti apa yang kita ucapkan. Karena itu, hati-hatilah, perilaku seorang da’i (guru) adalah hujjah bagi umat yang melihatnya. Maka menjaga keteladan akhlak adalah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّكُمْ لَا تَسَعُونَ اَلنَّاسَ بِأَمْوَالِكُمْ, وَلَكِنْ لِيَسَعْهُمْ بَسْطُ اَلْوَجْهِ, وَحُسْنُ اَلْخُلُقِ
“Sesungguhnya kalian tidak mampu menguasai manusia dengan harta kalian, tetapi mereka dapat dikuasai dengan manisnya wajah dan akhlak yang baik (husnul khuluq).” (H.R. Abu Ya’la No. 6550, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 428, beliau menshahihkannya. Al Bazzar No. 8544. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 8054. Imam Al Haitsami mengatakan: “Di dalamnya terdapat Abdullah bin Sa’id Al Maqbari, dia dhaif.” Lihat Majma’ Az Zawaid, 8/22. Syaikh Husein Salim Asad mengatakan: dhaif jiddan – sangat lemah. Lihat Tahqiq Musnad Abi Ya’la No. 6550).

Akhlak yang baik merupakan salah satu tiket menuju surga. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ الْفَمُ وَالْفَرْجُ

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang sesuatu yang paling banyak menyebabkan manusia masuk ke dalam surga, beliau menjawab: “Taqwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” Beliau juga ditanya tentang penyebab terbanyak manusia dimasukkan ke dalam neraka, beliau menjawab: “Mulut dan kemaluan.” (H.R. At Tirmidzi No. 2004, katanya: shahih. Ibnu Hibban No. 4246, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 7919, katanya: shahih. Imam Adz Dzahabi juga menshahihkannya dalam At Talkhish).

Imam Ibnul Qayyim rahmatullah ‘alaih berkata: “Digabungkan keduanya (taqwallah dan husnul khuluq), karena taqwallah memperbaiki apa-apa yang ada pada hamba kepada Tuhannya, sedangkan akhlak yang baik akan memperbaiki hubungan antara hamba dengan makhlukNya.” (Bulughul Maram, catatan kaki no. 3, hal. 287. Darul Kutub Al Islamiyah).

Kita tidak menuntut muluk-muluk, bahwa seorang da’i (guru) wajib memiliki khuluqun ‘azhim misalnya, sebab itu adalah minhah rabbaniyah (anugerah Allah) untuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. “Dan Sesungguhnya engkau benar-benar berakhlak agung.” (Q.S. Al Qalam: 4)

Dalam salah satu tafsir dikatakan: “Sesungguhnya engkau, wahai Muhammad, benar-benar memiliki adab yang agung, yang dengannya Tuhanmu telah mendidikmu, yaitu adab Al Qur’an“ (Syaikh Khalid Abdurrahman al ‘Ak, Shafwatul Bayan li Ma’anil Qur’anil Karim, hal. 564. Darul Basya-ir Beirut).

Adapun al Aufi berkata dari Ibnu Abbas: “Sesungguhnya engkau benar-benar memiliki agama yang agung, yaitu Islam.” Seperti itu pula yang dikatakan Mujahid, Abu Malik, As Sudy, Ar Rabi’ bin Anas, Dhahak dan Ibnu Zaid. Berkata ‘Athiyah: “Benar-benar memiliki adab yang agung.” Berkata Ma’mar dari Qatadah aku bertanya kepada ‘Aisyah tentang akhlak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ia bekata: “Adalah Rasulullah akhlaknya itu Al Qur’an.” Ini juga diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan An Nasa’i. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anul Azhim, 4/403).

Paling tidak, da’i (guru) memiliki husnul khuluq secara standar yang seharusnya ada pada seorang muslim berakhlak. Itu saja sudah cukup baginya menjadi ‘yang terindah’ di tengah masyarakat yang kosong keteladanan. Tentunya hal itu dicapai dengan perjuangan yang tidak mudah. Akhlak standar itu sebagaimana yang terpampang dalam Al Qur’an dan As Sunnah adalah menjauhi akhlak tercela seperti hasad, tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain), su’uz zhan, ghibah, namimah (adu domba), riya’, sum’ah (beramal ingin didengar orang), kibr (sombong), dusta, ingkar janji, khianat amanah, sengit dalam berdebat, mudah marah, mencaci sesama muslim, sumpah palsu, aniaya, memakan harta yang bukan haknya, menghardik anak yatim, dan lain-lain. Sebaliknya ia dekat dengan akhlak terpuji seperti menyebarkan salam, memberi makan, sedekah, pemaaf, murah senyum, penyantun, sabar, menjenguk yang sakit dan takziyah kematian, wara’ (hati-hati) terhadap hal yang diharamkan, makruh dan syubhat, tidak berlebihan dengan yang mubah, meninggalkan hal yang melalaikan, menolong dalam hal kebaikan, menasihati dalam kebaikan dan kesabaran, adil, menyayangi yang kecil, menghormati yang tua, mengetahui hak ulama, menjaga penampilan, bersahabat dengan orang-orang shalih, memuliakan tamu dan tetangga, bicara yang baik atau diam jika tidak bisa, dan lain-lain.

3. Teladan dalam Ilmu. Seorang da’i (guru) adalah seperti seorang guru bagi muridnya.Ia tempat manusia bertanya, meminta solusi, dan mencari masukan. Maka, seorang da’i yang bertanggung jawab dan menghormati mad’u adalah da’i (guru) yang selalu membekali dan memperkaya dirinya dengan ilmu. Sudah selayaknya –dan inilah yang dipahami secara umum- da’i harus lebih berwawasan lebih dibanding umat yang diserunya. Inilah salah satu kewibawaan baginya. Memang dengan ilmu Allah ‘Azza wa Jalla mengangkat derajat manusia.

Betapa banyak pemuda berhasil ‘menguasai’ orang tua dan ulama karena ilmunya. Tahukah anda Imam Ahmad bin Hambal hafal satu juta hadits? (tentu ada yang shahih dan ada juga yang dhaif, istilah hadits hasan baru ada pada masa Imam At Tirmidzi). Tahukah anda Imam asy Syafi’i (wafat 204 H) telah hafal Al Qur’an dan mengetahui seluk beluknya, seperti asbabun nuzul dan nasikh mansukh pada usia tujuh tahun? Dikisahkan dari Imam Ahmad bahwa Imam asy Syafi’i dalam satu malam menyelesaikan tiga ratus pertanyaan. Tahukah anda Imam Sufyan bin Uyainah hafal Al Qur’an pada usia empat tahun? Tahukah anda bahwa Imam Ibnu Taimiyah dijuluki ‘lautannya dalil naqli (nash) dan aqli (akal)’. Sampai-sampai dikatakan jika ada hadits yang tidak diketahui Imam Ibnu Taimiyah pasti itu bukan hadits. Ia pernah membuat kitab yakni Al Aqidah Al Washitiyah, yang selesai dibuatnya hanya dalam sekali duduk setelah shalat ‘Ashar (Muqaddimah syarah al Aqidah al Washitiyah, hal. 5). Konon Imam Ibnul Qayyim menyusun kitab Zaadul Ma’ad ketika ia sedang musafir (artinya tanpa referensi).

Tahukah anda bahwa Syaikh Yusuf Al Qaradhawy Hafizhahullah pertama kali ceramah ilmiah di depan orang banyak ketika ia kelas tiga sekolah dasar, untuk menggantikan seorang syaikh alim dan berpengaruh di daerahnya saat itu, yaitu Syaikh Abdul Muthalib Al Batah. Diceritakan bahwa jama’ah sangat puas dengan apa yang disampaikannya. Beliau –hafizhahullah– ketika dalam penjara –tanpa pena dan secarik kertas- menyusun ontologi (kumpulan puisi) yang diberi judul Malhamatul Ibtila Al Malhamah An Nuuniyah, semuanya cukup ia rekam dalam otaknya, yang baru sempat ia tulis setelah bebas, padahal syair itu berjumlah tiga ratus bait. Tahukah Anda kekuatan Syaikh Al Albany dalam mempelajari, meneliti dan menelusuri hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Diceritakan dalam salah satu biografinya, ia sudah datang ke perpustakaan sebelum petugas datang dan baru pulang setelah malam sudah larut, sehingga tidak sedikit orang yang mengingatkannya. Jika orang bertanya kepadanya, ia akan jawab tanpa melepaskan kitab yang sedang dikajinya. Ustadz Muhammad Ash Shabagh berkata tentangnya, “Sebelah mata melihat kitab, sebelah lagi melihat si penanya.”

Subhanallah! Demikianlah keteladanan para ulama dalam kecintaan mereka terhadap ilmu. Maka para da’i (guru) seyogyanya menjadi orang yang tamak terhadap ilmu, dekat dengan mata airnya, menghormati ahlinya, bersungguh dalam menuntutnya, serta tidak lelah dalam memikulnya. Sesungguhnya Rasulullah ‘Alaihis Shalatu was Salam telah berwasiat tentang ilmu.

Berkata ‘Amir bin Ibrahim: كان أبو الدرداء إذا رأى طلبة العلم قال مرحبا بطلبة العلم وكان يقول ان رسول الله صلى الله عليه وسلم أوصى بكم

Bahwasanya Abu Darda’ jika melihat seorang thalibul ilmi beliau berujar: Selamat datang wahai penuntut ilmu. Dan dia pernah mengatakan: Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mewasiatkan kamu sekalian (perkara menuntut ilmu). (Riwayat Ad Darimi dalam Sunannya No. 348. Syaikh Al Albani mengatakan: isnad ini para perawinya terpercaya kecuali ‘Amir bin Ibrahim, saya tidak mengetahuinya. Lihat As Silsilah Ash Shahihah, 1/503)

4. Teladan dalam Amal dan Ibadah. Seorang da’I (guru), ia teladan dalam ketepatan shalat pada waktunya, di masjid, dan berjama’ah. Ia amat keras usahanya untuk itu. Ia menjaga wudhunya dari apa yang membatalkannya dan amat memperhatikan adab-adab, seperti adab tilawah, adab doa, adab di masjid, adab makan dan minum, adab safar, dan di jalan.

Menjaga shaum sunnah, shalat nawafil, sedekah sunnah, dan dzikir, lalu ia menyembunyikan itu semua. Biar hanya Allah ‘Azza wa Jalla yang tahu. Sebab hanya Dia yang memberikan ganjaran, selainnya tidak bisa memberikan apa-apa walau melihat amal-amal tersebut.

Selain itu yang terpenting adalah ia menjaga kualitas ibadahnya, yaitu keikhlasan, kesesuaian dengan syariat, kekhusyuan, dan kontinuitasnya. Tanpa pula meremehkan kuantitasnya.

Ini semua, jika kita lakukan dengan sungguh dan sebagaimana mestinya, niscaya memberikan pengaruh bukan hanya bagi si da’I (guru), tetapi bagi mereka yang melihatnya. Tanpa ia mengiklankan, masyarakat akan merasa malu jika tidak mengikutinya, walau tidak ikut, paling tidak mereka tidak memusuhinya.

5. Teladan dalam Berkeluarga. Seorang da’i (guru) harus bisa menampakkan citra keluarga da’wah dan harakah. Keluarga yang tegak amar ma’ruf nahi munkar di dalamnya. Rumah mereka benar-benar tempat berteduh, suami tempat bercerita, isteri tempat melabuhkan hati, dan anak sebagai penyedap pandangan mata. Potensi perselisihan tetaplah ada, namun mereka –selain menyerahkan semua kepada Allah- juga memiliki cara islami untuk menyelesaikannya, seperti tidak boleh bermusuhan lebih tiga hari, mudah memaafkan, mengalah walau benar, tidak membandingkan istri atau suami dengan yang lain, bersyukur atas pemberian dan pelayanan, dan seterusnya.

Keluarga da’I (guru) adalah keluarga yang rumahnya tidak ada kemungkaran seperti, musik-musik jahiliyah, majelis pergunjingan dan kebencian, patung dan lukisan makhluk bernyawa, dan dayyuts (yaitu orang yang tidak marah terhadap maksiat anggota keluarganya). Sebaliknya adalah semarak dengan tilawah Al Qur’an dan kajian tentangnya, nasihat-nasihat agama, majelis mahabbah, madrasah bagi anak-anak, dan nasyid-nasyid penyemangat hidup dan jihad, itupun seperlunya.

Keluarga da’I (guru) adalah keluarga yang anggota keluarganya mengerti dan menjalankan tanggung jawabnya masing-masing, secara adil dan musyawarah. Juga pandai bertetangga, baik dalam keadaan ridha atau marah. Sebab hidup bertetangga tidak lain adalah kumpulan kesabaran, pemakluman, dan lapang dada, sebab Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan manusia secara heterogen. Keluarga da’i adalah contoh keseimbangan bagi masyarakat. Ia seimbang dalam urusan dunia dan akhirat, materi dan ruhi, kerja dan istirahat. Seimbang dalam berpakaian, tidak terlalu murah dan jelek sehingga menghinakan diri sendiri, atau terlalu mewah sehingga terkesan sombong. Keseimbangan ini amat diperlukan agar ia bisa berinteraksi dan beradaptasi dengan dua kutub ekstrem manusia. Wallahu A’lam wa lillahil ‘Izzah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *